PULAU LANJUKANG



Pulau Lanjukang, atau disebut juga Pulau Lanyukang, atau Pulau Laccukang, merupakan pulau terluar yang berjarak 40 km dari kota Makassar, termasuk Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah. Untuk menuju pulau ini dari kota Makassar, belum ada transportasi reguler, namun bagi wisatawan dapat menggunakan perahu carteran (sekoci) dengan mesin 40 PK untuk 10 penumpang dengan biaya sewa Rp. 1.OOO.OOO,- (pulang-pergi) 

Bentuk pulau ini memanjang baratdaya - timurlaut, dengan luas mencapai lebih 6 ha, dengan rataan terumbu yang mengelilingi seluas 11 ha. Pada timur merupakan daerah yang terbuka dan terdapat dataran yang menjorok keluar (spit). Sedangkan di sisl barat bagian tengah, terdapat mercusuar. Vegetasi di pulau ini cukup padat, dengan sebaran pohon merata, didominasi oleh pohon pinus dan pohon kelapa serta pohon pisang dibagian tengah pulau.

Sarana umum yang tersedia masih relatif sangat terbatas. Fasilitas pendidikan dan kesehatan belum tersedia. Instalasi listrik dengan 2 buah generator hanya beroperasi antara pukul 17.30 - 21 .00 Wita. Terdapat sebuah sumur air payau di bagian tengah pulau untuk kebutuhan sehari-hari. Kita juga dapat menjumpai 2 buah warung kecil dengan barang dagangan yang sangat terbatas. Selain itu terdapat sebuah mushallah semi permanen. Pemukiman penduduk terkonsentrasi di sisi utara pulau yang relatif lebih aman pada musim timur dan barat.

Pulau ini belum dilengkapi dengan fasilitas dermaga kapal. Disisi bagian barat, pada surut terendah terdapat rataan terumbu karang yang mencapai jarak 1 km dan pada jarak 2 km terdapat daerah yang mempunyai kedalam yang curam hingga lebih 100 m. Wilayah perairan disisi selatan, timur, dan utara pulau ini merupakan alur pelayaran kapal.

Fasilitas resort sudah tersedia berupa 2 buah bangunan rumah batu semi permanen sebagai guest house bagi wisatawan ke pulau ini. Walaupun fasilitas sangat terbatas, bagi mereka yang menyenangi suasana alami, pulau ini ini salah satu tempat yang ideal bagi mereka yang ingin melakukan camping atau sekedar berjemur di pantai pasir putih yang indah dan bersih, atau bagi mereka yang gemar bersnorkling disekitar perairan pulau ini, panorama taman laut dan keanekaragaman biotanya dengan laut yang bersih menjadi daya tarik tersendiri.

Kondisi terumbu karang di sekitar pulau umumnya masih baik dan sangat menarik untuk kegiatan snorkling. Kita dapat menjumpai berbagai jenis spesies karang, karang lunak, ikan karang, dan ikan hias, serta biota lautnya. Umumnya, pulau ini dimanfaatkan oleh wisatawan pemancing sebagai tempat transit, sebelum meneruskan ke perairan Pulau Taka Bakang dan Pulau Marsende (wilayah perairan Kabupaten Pangkajene Kepulauan) untuk kegiatan "sport fishing"

Menyelam di Cakar Macan, Taman Nasional Taka Bonerate

 

Sumber Gambar KompasPotensi laut yang masih tertidur. Transportasi menjadi kendala pengembangannya. Meski dilingkupi alam yang ganas, tak luput dari pencurian. Kaki Reflina Imania Juwita berayun-ayun mengikuti irama dangdut sekadarnya. Malam itu menjadi penutup kunjungan di Taman Nasional Taka Bonerate, Selayar, Sulawesi Selatan. Reflina bersama enam kawannya dari Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia (FPMI) bergabung dalam ekspedisi Taka Bonerate dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu.

Mereka menumpang KRI Surabaya menuju perairan Makassar. Untuk sampai Taka Bonerate, Reflina dan kawan-kawan menempuh 16 jam perjalanan lagi dari Makassar. Wilayah konservasi itu merupakan habitat terumbu karang atol terbaik di Indonesia. Ketiga terbesar di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Atol adalah terumbu karang berbentuk cincin. Disebut juga terumbu karang cakar macan.

Reflina sangat senang bisa menyelam di atol yang membentang 530.765 hektare itu. Dia mengambarkan atol itu seperti tebing curam yang siap dijelajahi petualang. Di banyak tempat, mungkin karang dan biota lautnya hampir sama. Tetapi di sini berbeda.
Selain bentang karang, kejernihan airnya sangat memikat. "Seperti nggak pakai kacamata renang. Kayak nggak ada penghalangnya," kata mahasiswa Jurusan Perkapalan, Universitas Diponegoro, Semarang, itu. Pendidikan formal Reflina mengharuskan dia menjadikan laut sebagai rumah kedua.
Di geladak kapal, orang-orang ramai berjoget. Reflina dari kursi belakang sesekali bertepuk tangan. Wajahnya menghitam terbakar matahari. Maklum, dua hari dia menyelam di dua titik kawasan Pulau Rajuni dan Latondu. Dia menyelam hingga kedalaman 25 meter. Satu hingga tiga jam di dalam air, muncul, lalu menyelam kembali. Penyelaman baru usai senja hari.
Dia merasa tak cukup hanya menyelam dua hari. Sebab baru dua pulau yang disambangi. Padahal, totalnya ada 21 pulau dan 19 lokasi penyelaman yang di taman nasional itu.
Karakter pulau di Taman Nasional Taka Bonerate begitu landai dan berada 2 hingga 4 meter di atas permukaan air. Panjangnya 200 hingga 2.000 meter, dengan lebar 100 hingga 1.000 meter. Taman nasional ini juga memiki pasir putih yang halus. Bila menginjakkan kaki tanpa alas, akan terasa mengental seperti tepung.
Ketika musim angin timur, muncul puluhan hamparan pasir putih tanpa pohon yang disebut bungin atau gusung. Biasanya bungin digunakan nelayan untuk membangun rumah singgah guna mempercepat gerak mereka di laut. Rumah itu bertahan hingga dua bulan dan kembali tersapu gelombang bersama bungin ketika angin barat bertiup.
Selain karang dan pasir, pada musim angin timur, Juli hingga Desember, beberapa pulau kecil begitu riuh. Ratusan burung laut hiruk-pikuk dengan lengkingan khas, berseliweran dan menukik menangkap ikan. "Itu perjalanan migrasi yang menyenangkan," kata Nur Aisyah Amnur, ahli pengendalian ekosistem hutan taman nasional itu.
Burung-burung itu berasal dari pulau sekitar, seperti Flores, Ambon, serta dari Australia. Mereka terbang dengan gerombolan yang banyak. Bila berkumpul, seperti kampung burung. Biasanya burung-burung tadi tersebar di beberapa pulau yang punya garis pantai panjang.
Pada 1929, dalam buku Sebaran dan Perkembangan Terumbu Karang di Indonesia Timur, Molengraff menulis Taka Bonerate sebagai Tiger Island atau Atol Harimau. Masyarakat mempercayai nama itu bukan sembarang nama. Mereka mengibaratkan Taka Bonerate sebagai mulut macan. Salah sedikit memasuki perairan itu, boleh jadi tak bisa keluar. Ini barangkali terjadi lantaran keganasan alam dan kesulitan menjangkau taman laut tersebut.
Nyali besar memang dibutuhkan untuk mengarungi Taka Bonerate. Nur Aisyah mengatakan, kadang-kadang jolloro (perahu bercadik khas Sulawesi Selatan) terombang-ambing dipermainkan ombak. Tinggi gelombangnya mencapai 5 meter hingga 7 meter. Keadaan alam seperti itu menguntungkan karena orang-orang akan sulit menjamahnya.
Meskipun sulit terjangkau, bukan berarti taman nasional itu luput dari usaha pencurian. Pada tahun lalu, tercatat ada 11 pelanggaran. Mulai pencurian ikan yang dilindungi, pengambilan karang, pembiusan, hingga pengeboman. Menurut Nur Asiyah, pelanggaran di dalam kawasan itu mudah terjadi karena petugas keamanannya sangat terbatas. Polisi yang menjadi penjaga ada 22 orang, tapi yang aktif hanya delapan. Sisanya diperbantukan di Makassar.
Salah satu jenis karang yang sering dicuri dan diminati masyarakat adalah bambu laut. Warnanya kuning. Bila dipegang, begitu lembut dan mudah hancur. Pada umumnya, bambu laut tumbuh di kedalaman 3-10 meter. Kata Nur Aisyah, karang itu diambil masyarakat karena dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit dan dijadikan sebagai obat kuat.
Lalu pencurian ikan dilakukan dengan pembiusan. Padahal, cara ini merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu ekosistem kawasan, bisa membunuh ikan, plankton, hingga karang.
Pada saat ini saja, beberapa karang di sana mengalami pemutihan. Jika sudah memutih, karang itu akan hancur, berubah menjadi pasir. Jumlahnya memang belum banyak dibandingkan dengan karang yang masih hidup. "Mengenai luasan karang mati itu, kami belum bisa memastikan. Tapi dua tahun terakhir ini, pemutihan karang memang banyak," katanya.
Dia belum bisa merinci penyebab utama pemutihan karang itu. Apakah karena pembiusan, pengeboman, atau perubahan suhu air laut. Yang jelas, terganggunya lingkungan sekitar akan membuat karang mudah stres.
Karang bukanlah tumbuhan laut, melainkan hewan laut. Hewan yang membentuk karang adalah polip. Polip ini berada di tengah karang dan mengumpulkan zat kapur. Cara kerjanya sederhana. Pada kondisi lingkungan yang nyaman, polip akan tumbuh sehat. "Seperti simbiosis muatualisme, saling menguntungkan," ujarnya. Zat kapur yang dikumpulkan akan menjadi rumah yang aman bagi polip.
Merangsang pertumbuhan terumbu karang tidaklah mudah. Butuh waktu minimal 10 tahun. Itu pun dengan syarat: keadaan lingkungan baik, suhu dan kecepatan arusnya stabil, serta harus terlepas dari penangkapan ikan berlebih.
Semua kondisi itu menjadikan potensi bahari dan pusat pendidikan terus tertidur. Hingga kini, rencana pemerintah daerah menjadikan Taka Bonerate sebagai tempat wisata bahari seperti Bunaken dan Wakatobi masih sebatas rencana. Data statistik taman nasional mencatat, jumlah penduduknya 6.267 jiwa pada 2009, tersebar di pulau-pulau yang tak satu pun memiliki sumber air tawar.
Secara geografis, Taka Bonerate berada di Laut Flores. Dari Flores, hanya dibutuhkan dua jam perjalanan. Tapi, jika ditempuh dari Makassar dengan rute normal, perjalanannya bisa makan waktu hingga 18 jam. Enam jam perjalanan dari Makassar ke Pelabuhan Bira di Bulukumba. Berlanjut dengan feri ke Selayar selama enam jam juga. Dari Selayar menuju Taka Bonerate makan waktu yang sama.
Bila menggunakan kapal milik balai taman nasional setempat, pengunjung dikenai biaya Rp 500.000. Kemudian membayar sendiri dua anak buah kapal dan menanggung persediaan bahan bakar minimal pergi-pulang 500 liter. Angkutan yang khusus menuju Taka Bonerate memang belum ada. Sedangkan feri Selayar-Taka Bonerate cuma ada tiga kali sepekan.
Arloji menunjukkan pukul 22.00 waktu setempat ketika KRI Surabaya mengarungi lautan, meninggalkan kawasan Taka Bonerate. "Ini pengalaman pertama. Saya berharap bisa kembali ke Taka Bonerate dan mengunjungi spot penyelaman lainnya," kata Reflina. (tulisan Eko Rusdiyanto, dimuat pada rubrik Perjalanan, Majalah Gatra Nomor 1, November 2010)

Kota Makassar Menuju Kota Dunia

 

Foto dari/ milik TEMPOMakassar, Staf ahli Bidang Perekonomian Pemerintah Kota Makassar, Abdul Madjid Sallatu, mengatakan, untuk menjadi kota dunia, Makassar harus merevitalisasi perencanaan pembangunannya. Makassar bisa mengambil referensi dari India dan Cina.
Hal tersebut diungkapkan oleh Madjid di ruang pola kantor Wali Kota Makassar saat memaparkan hasil pertemuan 43 wali kota sedunia dalam World Cities Summit di Singapura. Revitalisasi tersebut harus memperhatikan empat indikator penting, yakni arus manusia, bagaimana fungsi kota bekerja, geliat bisnis, serta organisasi yang terakomodasi dalam kehidupan perkotaan. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan lingkungan serta keharmonisan warga. "Makassar sudah on the track dalam pembangunannya menuju kota dunia," ujar Madjid. Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin mengatakan Makassar akan mengadopsi banyak hal dari beberapa kota besar yang dinilai maju dalam menerapkan kota berwawasan lingkungan. Hasil ini kemudian akan dikomunikasikan dengan seluruh satuan kerja perangkat daerah.
Pantai Losari dinilai sangat berpeluang besar menjadi ikon kota pantai dunia. Namun, menurut Ilham, program pemerintah Makassar untuk membangun kota ini selalu mendapat pertentangan dari warga. Contohnya dalam program reklamasi Pantai Losari seluas 1 hektare.
Menurut Ilham, di Singapura, pemerintahnya melakukan reklamasi pantai seluas 4.800 hektare tanpa ada gejolak warga. "Karena pada prinsipnya masyarakat mereka sadar bahwa apa yang dilakukan pemerintahnya adalah untuk kepentingan mereka," ujar Ilham.
Kota Makassar juga terhambat oleh ketidakseimbangan pembangunan yang tidak memperhitungkan wawasan lingkungan. Untuk itu, Ilham mengatakan pemerintah akan segera merevisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar.
Namun, Madjid mengingatkan, sebaik apa pun konsep yang digunakan, tidak akan membawa pengaruh positif jika tanpa disertai konsistensi pemerintah dan warga Makassar dalam menjalankannya.

Desa Wisata Lakkang Kini Menjangkau Dunia

 

Bersepeda menelusuri Desa Lakkang. (Erwin/Tempo)Makassar, Sungai Tallo yang tenang dan cokelat membuat kami tak was-was menelusuri perjalanan ke Desa Lakkang dari Dermaga Universitas Hasanuddin akhir pekan kemarin. Tak ada kekhawatiran tersirat di antara rombongan kami yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sementara, Pak Tua mendekati saya, "sebenarnya banyak buaya di sungai ini," ia berbisik tanpa senyum.
Perjalanan menggunakan katinting (ucapan warga untuk perahu yang kami naiki) dari Dermaga Unhas ke Desa Lakkang hanya memakan waktu sekitar 10-15 menit. Di kiri kanan tepian sungai menghampar pohon Nipah kehijauan.
Satu-dua batang nipah sempat mengganggu putaran mesin tempel katinting dan pemilik katinting pun terpaksa mematikan mesin untuk membersihkan putaran baling-baling mesin. Menurut Pak Tua yang membisiki saya, buah nipah yang manis dan konon menjadi obat kuat kaum Adam telah lama menjadi konsumsi warga di sekitar Sungai Tallo.
Selain melalui Dermaga Universitas Hasanuddin, warga Desa Lakkang juga dapat keluar menuju Dermaga Tekkolo yang terhubung ke laut lepas. Dermaga ini, kata Andi M. Fara , Lurah Lakkang, berada di depan Benteng Rotterdam di pusat kota.
Desa Lakkang memang desa yang terisolir, dan menurut Hanz Matone - pemerhati pariwisata Sulawesi Selatan dan anggota Lingkar Penulis Pariwisata - inilah yang menjadi keunikan lokasi ini dan ia menentang ide untuk membangun jembatan penghubung ke lokasi yang menjadi paru-paru Kota Makassar itu. Keberadaan jembatan tersebut dinilai akan menghapus keunikan lokasi ini dan menjadi ancaman terhadap statusnya sebagai daerah konservasi alam dan budaya.
Desa Lakkang, kata Hanz, adalah hasil sebuah sedimentasi dan berada di tengah Kota Makassar. Desa ini memiliki berbagai potensi dan bisa dijual menjadi obyek wisata unggulan. Potensi yang dimiliki Desa Lakkang adalah potensi alam seperti pohon-pohon berusia ratusan tahun, empang, daerah pertanian di tengah kota, dan kawasan nelayan.
Desa ini juga berdekatan dengan kawasan industri Makassar sehingga dengan kealamiahannya diharapkan dapat menjadi paru-paru kota. Dengan potensi yang dimilikinya, kata Hanz, ada tiga konsep yang dapat dikembangkan untuk Desa Lakkang, yaitu sebagai konservasi, sebagai edukasi, dan tujuan rekreasi.
Lurah Lakkang Andi M. Fara mengakui daerahnya kini telah menjadi lokasi tujuan wisatawan mancanegara, khususnya Jepang. Para wisatawan Jepang tersebut menikmati buah-buahan unik di daerah ini serta tujuh titik bungker peninggalan Jepang.
Bungker-bungker pas ukuran orang dewasa itu dulunya merupakan tempat pelarian dan tempat penimbunan logistik Jepang. Akibat tertimbun, bungker yang pintunya pas seukuran orang dewasa itu terlihat seperti lubang-lubang kecil saja.
Desa Lakkang seluas 168 hektare. Andi mengatakan tempat ini telah dialiri listrik dan mendapat pasokan air dari PDAM. Desa ini ditinggali sekitar 300 keluarga atau sekitar 1.100 orang dan warganya berprofesi nelayan serta sebagian karyawan di Makassar. Untuk sampai ke desa ini memang satu-satunya melalui jalur air menggunakan perahu-perahu kecil.
Potensi yang dimiliki oleh Desa Lakkang rupanya menarik pihak swasta untuk ikut serta membangun lokasi terisolir ini. Vice President XL North Region Nuruddin Al Fitroh akhir pekan lalu (12/2) mengatakan pihaknya mendukung sepenuhnya program Desa Wisata Lakkang yang ditetapkan Pemerintah Kota Makassar.
Untuk mendukung penetapan Lakkang sebagai desa wisata itu, XL dalam program Coorporate Social Responsibility-nya membantu berbagai sarana infrastruktur di bidangnya, yaitu di bidang teknologi informasi dan komunikasi (ICT).
Dukungan XL meliputi empat bidang, yaitu pendidikan dengan donasi komputer dan internet ke warga desa, SD Negeri Lakkang dan kantor kelurahan, restorasi dan pemeliharaan situs bersejarah, pendidikan lingkungan dan pengembangan usaha kecil menengah. Selain itu XL menyerahkan satu katinting berkapasitas 15 penumpang serta satu unit telepon umum gratis.
Dengan infrastruktur tersebut Lakkang diharapkan akan diketahui oleh dunia. "Kami juga akan membantu melakukan pelatihan kepada yang berwenang untuk dapat meng-upload informasi tentang Lakkang ke Internet sehingga dapat diketahui oleh masyarakat dan dunia," ujar Nuruddin.
"Kami berharap dukungan dan dorongan dari XL ini akan mampu mewujudkan Lakkang Berprestasi yang sekaligus akan memberikan kontribusi pada kemajuan dunia pariwisata Makassar," tambah Nuruddin.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Makassar Rusmayani Madjid menyambut langkah XL dalam pengembangan Desa Wisata Lakkang. "XL yang pertama kali menjalin kerja sama dengan Pemkot Makassar," ujarnya. Langkah itu terutama untuk mendukung program Visit Makassar 2011.
Hasan Kiong, 43 tahun, warga dan pemilik guest house yang difasilitasi XL, menyambut langkah penetapan desanya sebagai desa wisata serta dukungan fasilitas XL untuk guest house-nya. "Sekarang ini Lakkang sudah mulai dilirik wisatawan asing, seperti Jepang," ujar pria yang berprofesi sebagai nelayan itu.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons